Widget HTML #1



Beradab Saat Buang Hajat


Berikut adab buang hajat seorang muslim yang dinukilkan dari Kitab Shahiihul Aadaabil Islaamiyyati karya Syaikh Wahid bin Abdussalam bin Baliy


1. Berzikir ketika Masuk Kamar Mandi


 Adab buang hajat yang pertama adalah berzikir ketika masuk kamar mandi. Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam apabila hendak memasuki kamar mandi beliau mengucapkan: 


اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ 


“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari Al-Khubutsi dan Al-Khobaaits,”(Sahih Bukhari: 142 dan Sahih Muslim: 375). 


Syaikh Wahid Abdussalam Bali berkata : Al-Khubutsi dengan dhomah pada “ba” jamaknya adalah Al-Khobiits. Al-Khobaaits jamaknya adalah Al-Khobiitsah. Yang dimaksud adalah setan laki-laki dan setan perempuan.”


 Di dalam riwayat milik Al-Bukhari memakai lafaz:


 إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ 


“Apabila beliau ingin masuk…” (Sahih Bukhari: 142). 


Ada juga yang memakai lafaz “Bismillah” dan dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi dan beliau mengatakan bahwa hadis ini termasuk hadis hasan karena ada syawahidnya atau penguatnya dari hadis lain. Hadis ini berasal dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda:


 سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمْ الْخَلَاءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ


 “Penghalang antara pandangan mata jin dan aurat bani Adam ketika salah seorang dari kalian masuk ke toilet adalah dia membaca Bismillah,” (Sunan At-Tirmizi: 606. Ibnu Majah: 297. At-Tirmizi: Hadis Garib. Al-Albani: Sahih. Abu Thahir Zubair Ali Zai: Daif). 


Penjelasan: 

  • Syaikh Wahid Abdussalam Bali berkata: “Hadis ini sanadnya da’if tetapi ada karena ada syawahid dari hadis Anas bin Malik dan Ibnu Mas’ud dan Abi Sa’id Al-Khudri dan Muawiyah bin Haidah Radhiyallahu Anhum maka statusnya menjadi Hasan Ligairihi 
  • Syaikh Wahid Abdussalam Bali menjelaskan hukum fiqih terkait hadis ini: “Menurut Hanafiyah dan Syafiiah, mereka berpendapat bahwa bismillah lebih didahulukan daripada ta’awud, berbeda dengan ta’awud ketika membaca al-Quran yang lebih didahulukan daripada membaca bismillah.


2. Tidak menghadap atau membelakangi kiblat di kamar mandi/WC yang tidak ada temboknya 


Adab buang hajat yang kedua adalah tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika di kamar mandi yang tidak ada temboknya. Di dalam Ash-Shahihain dari Abu Ayyub Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda:


 إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا 


“Apabila kalian mendatangi WC, maka jangan menghadap kiblat dan jangan pula membelakangi kiblat, tetapi menghadaplah ke timur atau barat.” Abu Ayyub kemudian berkata, “Kami sampai di Syam, lalu kami dapati bahwa kamar mandi-kamar mandi di sana dibangun dengan menghadap kiblat. Maka kami pun mengalihkannya dan kami memohon ampun kepada Allah ta’ala,” (Sahih Bukhari: 394. Sahih Muslim: 264).


Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda: 


إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا 


“Apabila salah seorang dari kalian duduk untuk buang hajat, maka jangan menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya,” (Sahih Muslim: 265). 


Juga di dalam Ash-Shahihain dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma yang berkata: 


ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ 


“Saya pernah naik ke atas atap rumah Hafsah untuk menunaikan sebagian keperluanku. Maka aku secara tidak sengaja melihat Rasulullah ﷺsedang menunaikan hajatnya dengan membelakangi kiblat dan menghadap ke arah Syam,” (Sahih Bukhari: 148. Sahih Muslim: 266). 


Di dalam Sunan Abu Dawud dan hadis ini termasuk hadis hasan karena ada syawahidnya (penguat dari hadis lain) dari Marwan bin Ashfar yang berkata: 


رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ثُمَّ جَلَسَ يَبُولُ إِلَيْهَا 


“Saya melihat Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma sedang menderumkan untanya menghadap kiblat. Kemudian Ibnu Umar duduk untuk buang air kecil menghadapnya (entah kiblat atau tunggangannya).” Lalu saya bertanya:


 يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَلَيْسَ قَدْ نُهِيَ عَنْ هَذَا 


Wahai Abu Abdurrahman, bukankah hal ini dilarang?” Beliau menjawab: 


بَلَى إِنَّمَا نُهِيَ عَنْ ذَلِكَ فِي الْفَضَاءِ فَإِذَا كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ شَيْءٌ يَسْتُرُكَ فَلَا بَأْسَ


“Benar. Tetapi yang dilarang adalah di tempat terbuka. Apabila dirimu dan kiblat ada sesuatu yang menutupimu, maka hal itu tidak mengapa.” (Sunan Abu Dawud: 11. Al-Albani: Hasan. Abu Thahir Zubair Ali Zai : dhoif).


Penjelasan: 

  • Ketika berada di padang pasir tanpa penghalang atau tanah terbuka tanpa penghalang, maka itu masuk ke dalam larangan.
  • Adapun di dalam bangunan atau jika ada sesuatu yang menutupi antara orang tersebut dengan kiblat, ada dua pendapat dari para ulama:
  1. Dilarang secara mutlak, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ath-Thawri karena adanya hadis yang melarangnya.
  2. Dibolehkan untuk menghadap dan menghalangi kiblat dalam bangunan, ini adalah pendapat mayoritas ulama.


3. Tidak Menghadap Arah Angin


Adab buang hajat yang ketiga adalah tidak mengharap arah angin. Apa maksudnya? Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata: 


مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ قَالَ فَدَعَا بِعَسِيبٍ رَطْبٍ فَشَقَّهُ بِاثْنَيْنِ ثُمَّ غَرَسَ عَلَى هَذَا وَاحِدًا وَعَلَى هَذَا وَاحِدًا ثُمَّ قَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا 


“Rasulullah ﷺ melewati dua kuburan kemudian bersabda: ‘Ketahuilah, sungguh kedua mayat ini sedang disiksa. Mereka berdua disiksa bukan karena melakukan dosa besar. Salah seorang di antara mereka disiksa karena suka mengadu domba sedang yang satunya lagi disiksa karena tidak memasang satir saat buang air kecil (di jalur lain juga dari Imam Muslim memakai kata ‘Yastanzihu’ atau tidak berhati-hati dari percikan air kencing sehingga mengenai bajunya atau tidak cebok).’ Kemudian beliau meminta pelepah kurma basah lalu membelahnya jadi dua. Kemudian beliau menanam satu di kuburan pertama, sedang satunya lagi di kuburan lainnya sambil bersabda, ‘Semoga pelepah ini bisa meringankan siksa keduanya, selama pelepah kurma ini belum kering.’” (Sahih Muslim: 292). 


Penjelasan : 

  • Bagian pertama dari hadis ini menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menghadap arah angin saat buang air kecil, karena kemungkinan bahwa kencingnya dapat kembali ke tubuhnya dan menjadikannya najis, dan dengan demikian, berhak mendapat adzab Allah.


4. Tidak Berkata, Mengucapkan Zikir atau Selainnya.


Adab buang hajat yang keempat adalah tidak mengucapkan zikir atau selain zikir. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma yang berkata:


 أَنَّ رَجُلًا مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ


“Bahwa seorang lelaki melewati rumah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, dan saat itu Rasulullah sedang buang air kecil. Maka, Rasulullah tidak membalas salam orang tersebut.”(Sahih Muslim: 370).


Penjelasan:

  • Tidak diperbolehkan untuk menyebut nama Allah (berdzikir) saat buang hajat, karena menjawab salam adalah wajib secara langsung. Jika itu diizinkan dalam keadaan tersebut, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan menahan diri darinya.
  • Tidak diperbolehkan berbicara sama sekali saat buang hajat, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak menjawab ketika dalam keadaan itu. Jika berbicara dengan selain dzikir diperbolehkan, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan diam karena menunda pernyataan selama buang hajat tidak diperbolehkan. *Namun mereka memberi pengecualian untuk kondisi darurat. Para ulama Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan bahwa dalam kondisi darurat, berbicara diizinkan.
  • Imam Nawawi berkata: Seakan-akan dia melihat orang buta dalam sumur atau melihat ular atau hal lain yang mengancam seseorang atau orang lain yang dihormati, maka tidak ada kebencian dalam berbicara dalam situasi ini, bahkan itu diwajibkan dalam kebanyakan kasus.


Link kajian : https://youtu.be/TvHzmTFUDL8?si=3T5w5hMQw59oTcVr

Video kajian : 


Ustadz Kusdiawan

Lumajang, 16 Rajab 1446 H

Posting Komentar untuk "Beradab Saat Buang Hajat"

Yuk Jadi Orang Tua Asuh Santri Penghafal Al Qur’an